Karya : Seno Gumira Ajidarma
Dicetak : November
94
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta
Tebal buku : 1 cm, VII + 113 halaman
Ukuran buku :
16 X 19,5
Berisi 13 cerpen, Seno menceritakan tentang sulitnya
perjuangan. Dimuat secara luas dari media cetak. Penerbit menyemarakan sastra
untuk bisa memahami diri sendiri.Cerita yang terdapat dalam cerpen karya Seno,
merupakan gambaran perilaku masyarakat yang terjadi pada masa peralihan orde
baru ke masa masa reformasi yang terjadi pada tahun 1998 di Timor Leste. Jadi
isinya penuh dengan kejadian pemotongan kuping, pencolokan mata, penculikan,
penyiksaan, pembantaian dan pembunuhan menjadi warna dalam buku ini. Nyawa
dipertaruhkan, terpaksa berpisah dari keluarga.
Isi buku ini cocok sekali dengan covernya, suram dan satu
warna. Pusat perhatian pada judul yang berwarna merah, berarti darah dan
sekaligus berarti keberanian. Seperti tema besar dalam buku kumpulan cerita
pendek ini. Buku ini menjadi saksi bisu sekaligus pembuktian betapa kejamnya
sebuah sejarah.
Gaya
penceritaan Seno yang bisa membuat seorang kagum membaca, dan juga bisa
dikatakan buku bernuansa politik. Dibutukan keberanian untuk mencari tahu
keberadaan, melawan dan memperjuangkan
keadilan. Dibutuhkan keberanian untuk bersaksi meski mata terancam dicongkel. Dicongkel lidah terancam
dipotong, dan dada terancam dilubangi. Buku ini pun salah satu perwujudan
keberanian itu.Perjuangan bukan hanya untuk orang yang berperang, orang yang
akan memberikan kesaksian yang jujur sering kali harus berjuang dengan diri
sendiri dan lawannya. Begitu yang
digambarkan dari kisah pertama buku ini, Saksi Mata.
Mengerikan, tapi hal semengerikan itu memang terjadi
didunia nyata. Dan betapa kengerian dalam cerita takkan melampaui atau sekedar
menyamai kengerian didunian nyata. Narasi pada cerita pendek dalam buku ini
penuh darah, kekejaman, penindasan, terror, rasa kesepian, serta perjuangan
untuk mempertahankan dan menyempurnakan kemanusiaan memang tidak ringan, bahkan terlampau berat. Dan hal itu mampu digambarkan
dengan jelas dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Darah Itu Merah,
Jenderal”.
Cerpen-cerpen yang dihasilkan Seno mengukuhkan dia
sebagai pengkritis bagi penguasa Orde Baru. Ia mulai mengkritisi Orba sejak
tahun 1980-an. Cerpen-cerpen ini memang menyuarakan perlawanan, penindasan
manusia atas lainnya serta perbedaan kelas. Juga karya Seno ini mengkritisi arogansi
dan dominasi penguasa. Ia mengajak pembaca untuk menyaksikan peristiwa itu sambil mendorongnya untuk
melakukan refleksi terhadap itu.
Peristiwa-peristiwa dalam cerpennya mampu membuka hati dan pikiran pembaca
untuk menyadari bahwa diluar sana, tak jauh dari tempat pembaca terjadi
peristiwa memilukan .
Karya-karya Seno yang
berani dan rasa simpatinya kepada orang-orang yang menderita, lalu dikemas
dengan gaya khas ini sering kali membuat pembaca mendapat akhir cerita yang tak
terduga. Selalu ada yang membekas disetiap karya Seno.
Menurut Fuller, Seno
melibatkan karya dan dirinya pada masalah-masalah Indonesia di masa Orde Baru
kemudian berperan membangun wacana poltik di masa itu. Seno melalui karyanya
telah berusaha membangkitkan dialog yang kritis, membangun kesadaran diri, untuk kemudian menyelesaikan krisis politik
dan krisis budaya. Kelebihan Seno adalah
pada cara dia bercerita. Biarpun memuati kritisme, ceritanya tetap tersaji
ringan. Ini menunjukkan betapa Seno seorang pendongeng yang mahir dalam tehnik
dan punya banyak cara untuk bercerita.
Sebaliknya dibalik suatu kumpulan cerita pendek ini, juga
telah disebutkan perilaku anarkis yang menimbulkan kekacauan yang identik
dengan tindak kekerasan, seperti contoh cuplikan adegan saat tindak kekerasan,
pembunuhan, pencongkelan, mutilasi dsb. Maka dari itu para anak kecil bisa jadi
meniru adegan anarkis tersebut.
No comments:
Post a Comment