Thursday, December 11, 2014

RESENSI CERPEN Kumpulan Cerpen Saksi Mata



Karya                    : Seno Gumira Ajidarma
Dicetak                 :         November 94
Penerbit                : Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta
Tebal buku           : 1 cm, VII + 113 halaman
Ukuran buku        : 16 X 19,5
          Berisi 13 cerpen, Seno menceritakan tentang sulitnya perjuangan. Dimuat secara luas dari media cetak. Penerbit menyemarakan sastra untuk bisa memahami diri sendiri.Cerita yang terdapat dalam cerpen karya Seno, merupakan gambaran perilaku masyarakat yang terjadi pada masa peralihan orde baru ke masa masa reformasi yang terjadi pada tahun 1998 di Timor Leste. Jadi isinya penuh dengan kejadian pemotongan kuping, pencolokan mata, penculikan, penyiksaan, pembantaian dan pembunuhan menjadi warna dalam buku ini. Nyawa dipertaruhkan, terpaksa berpisah dari keluarga.
            Isi buku ini cocok sekali dengan covernya, suram dan satu warna. Pusat perhatian pada judul yang berwarna merah, berarti darah dan sekaligus berarti keberanian. Seperti tema besar dalam buku kumpulan cerita pendek ini. Buku ini menjadi saksi bisu sekaligus pembuktian betapa kejamnya sebuah sejarah.
Gaya penceritaan Seno yang bisa membuat seorang kagum membaca, dan juga bisa dikatakan buku bernuansa politik. Dibutukan keberanian untuk mencari tahu keberadaan, melawan dan memperjuangkan  keadilan. Dibutuhkan keberanian untuk bersaksi meski mata  terancam dicongkel. Dicongkel lidah terancam dipotong, dan dada terancam dilubangi. Buku ini pun salah satu perwujudan keberanian itu.Perjuangan bukan hanya untuk orang yang berperang, orang yang akan memberikan kesaksian yang jujur sering kali harus berjuang dengan diri sendiri dan lawannya.  Begitu yang digambarkan dari kisah pertama buku ini, Saksi Mata.
            Mengerikan, tapi hal semengerikan itu memang terjadi didunia nyata. Dan betapa kengerian dalam cerita takkan melampaui atau sekedar menyamai kengerian didunian nyata. Narasi pada cerita pendek dalam buku ini penuh darah, kekejaman, penindasan, terror, rasa kesepian, serta perjuangan untuk mempertahankan dan menyempurnakan kemanusiaan memang tidak ringan, bahkan  terlampau berat. Dan hal itu mampu digambarkan dengan jelas dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Darah Itu Merah, Jenderal”.
            Cerpen-cerpen yang dihasilkan Seno mengukuhkan dia sebagai pengkritis bagi penguasa Orde Baru. Ia mulai mengkritisi Orba sejak tahun 1980-an. Cerpen-cerpen ini memang menyuarakan perlawanan, penindasan manusia atas lainnya serta perbedaan kelas. Juga karya Seno ini mengkritisi arogansi dan dominasi penguasa. Ia mengajak pembaca untuk menyaksikan  peristiwa itu sambil mendorongnya untuk melakukan refleksi  terhadap itu. Peristiwa-peristiwa dalam cerpennya mampu membuka hati dan pikiran pembaca untuk menyadari bahwa diluar sana, tak jauh dari tempat pembaca terjadi peristiwa memilukan .
Karya-karya Seno yang berani dan rasa simpatinya kepada orang-orang yang menderita, lalu dikemas dengan gaya khas ini sering kali membuat pembaca mendapat akhir cerita yang tak terduga. Selalu ada yang membekas disetiap karya  Seno.
Menurut Fuller, Seno melibatkan karya dan dirinya pada masalah-masalah Indonesia di masa Orde Baru kemudian berperan membangun wacana poltik di masa itu. Seno melalui karyanya telah berusaha membangkitkan dialog yang kritis, membangun kesadaran  diri, untuk kemudian menyelesaikan krisis politik dan krisis budaya.  Kelebihan Seno adalah pada cara dia bercerita. Biarpun memuati kritisme, ceritanya tetap tersaji ringan. Ini menunjukkan betapa Seno seorang pendongeng yang mahir dalam tehnik dan punya banyak cara untuk bercerita.
            Sebaliknya dibalik suatu kumpulan cerita pendek ini, juga telah disebutkan perilaku anarkis yang menimbulkan kekacauan yang identik dengan tindak kekerasan, seperti contoh cuplikan adegan saat tindak kekerasan, pembunuhan, pencongkelan, mutilasi dsb. Maka dari itu para anak kecil bisa jadi meniru adegan anarkis tersebut.
           




















No comments:

Post a Comment